Mengapa? Pertanyaan itu kerap muncul di benak warga Amerika Serikat setiap kali penembakan brutal terjadi di negeri mereka. Tapi jawabannya tak pernah muncul, dan insiden serupa terus berlanjut.
Di Amerika Serikat, warga sipil memang boleh memiliki senjata api. Konsekuensinya, barangkali, ada banyak aksi brutal gaya “koboi” meletup di tengah keramaian. Para pelaku, dan juga korban umumnya dari kalangan sipil. Sesekali, ada pejabat Amerika jadi korban. Bahkan seperti dicatat sejarah negeri itu, sejumlah presiden AS turut menjadi korban penembakan brutal.
Kasus terkini adalah James Eagan Holmes. Dia pemuda terpelajar. Dari luar, tak tampak dia punya soal serius dalam hidupnya. Tapi tragedi di Kota Aurora, Colorado, 20 Juli 2012, mengejutkan dunia. Holmes membawa sejumlah senjata ke bioskop. Dia tak menonton, tadi datang dengan perlengkapan seperti orang pergi berperang.
Gilanya, yang ditembaki adalah mereka tak bersenjata. Mereka penonton bioskop, yang pada hari itu bersiap gembira menonton tayangan perdana sekuel terbaru film "Batman: The Dark Knight Rises".
Tapi Holmes, yang berdiri di depan layar, memuntahkan pelurunya, menyemburkan timah panas itu ke siapa saja yang berteriak histeris dan panik. Sebelumnya dia melempar semacam bom asap. Lalu, sebelum penonton sadar apa yang terjadi, dia memberondong peluru membabibuta. Sekitar 12 tewas, dan 58 lainnya luka-luka, termasuk tiga warga Indonesia yang tinggal di Kota Aurora.
Setahun sebelum pembantaian di kota kecil di negara bagian Colorado itu, peristiwa serupa terjadi di luar kota Tuscon, negara bagian Arizona.
Seorang pemuda memuntahkan peluru ke sekerumunan orang. Kasus ini mendapat sorotan se-Amerika. Yang tewas akibat aksi itu adalah seorang hakim. Seorang anggota DPR AS menderita luka parah di kepala. Pelakunya seorang pemuda putus sekolah bernama Jared Lee Loughner.
Holmes dan Loughner berbeda latar belakang, dan kepintaran. Motif aksi mereka masih ditelusuri polisi. Ada satu kesamaan: mereka berdua dikenal penyendiri. Sebelum aksi mereka itu, ada pula seorang pemuda bernama Seung-Hui Cho.
Dia memberondongkan senjata di suatu kampus di Virginia pada 2007. Pria kelahiran Seoul, 18 Januari 1984 ini menewaskan 32 orang, 25 lainnya terluka. Polisi tak bisa menangkapnya, lantaran dia memilih bunuh diri saat dikepung.
Ada ciri yang sama di antara mereka. Para pelaku penembakan brutal itu umumnya penyendiri, dan bukan orang cacat ingatan.
Holmes, mahasiswa brilian
Orang-orang yang mengenal Holmes, misalnya, tidak menyangka dia menjadi pelaku pembantaian di Bioskop Century. Holmes pemuda brilian, di usia 24 tahun dia tercatat sebagai mahasiswa program doktor ilmu saraf.
Dia juga sepertinya berhati baik. Pemuda asal San Diego itu pernah aktif menjadi "mentor" untuk kamp pelatihan anak-anak terlantar. Di SMA-nya, Westview High School, Holmes mendapat penghargaan sebagai murid berprestasi gemilang. Namun, uniknya, dia tidak menghadiri acara kelulusan. Dia pun hanya punya sangat sedikit teman.
Holmes juga bukan anak bengal. "Dia itu tipe orang yang, bila diledek, cuma duduk dan kemudian tersenyum dan tidak berbuat macam-macam," kata Jordan Toth, teman Holmes semasa SMA, seperti dikutip stasiun berita ABC.
Kepada media sama, tetangga kediaman ibunda Holmes melontarkan kesan serupa. "Dia dulu anak baik, tumbuh besar di lingkungan yang baik pula," ujar Kim Goff, yang berteman baik dengan ibunda Holmes. Maka, Goff tidak habis pikir mengapa bocah baik itu menjadi pelaku penembakan brutal di Bioskop Century.
Pada 2010, ungkap ABC, Holmes lulus dengan gelar sarjana S-1 ilmu saraf dari University of California Riverside. Di sana, Holmes dikabarkan lulus dengan nilai pemuncak di kelasnya. Dia lalu pindah ke Kota Aurora untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Kedokteran Anschutz dari Universitas Colorado.
Di sekolah itulah Holmes mengikuti program doktoral ilmu saraf. Holmes terbukti mahasiswa S-3 yang brilian. Dia menerima program bea siswa dari National Institutes of Health. Lembaga itu mendanai enam mahasiswa pra-thesis program doktoral ilmu saraf di Sekolah Kedokeran Anschutz.
Tapi, entah apa soalnya, dia gagal mengikuti ujian awal di program doktoral itu. Holmes lalu mengundurkan diri Juni lalu. Pihak universitas pun mengaku tidak tahu persis apa alasan Holmes tiba-tiba drop out.
Bagi para tetangganya, Holmes adalah pria pendiam. Dia tinggal sendiri di flatnya, dan sengaja menjaga jarak dengan para tetangga. Kalangan media pun masih mencari-cari apakah ada orang yang benar-benar menjadi teman dekat Holmes, dan mau berbicara banyak mengenai profilnya.
Sikap aneh Holmes itu ditambah sifatnya penyendiri, dan tak mau repot-repot bergaul selama menjadi mahasiswa. Anehnya lagi, dia pun tampak tak punya satu pun akun di laman media sosial seperti Facebook atau Twitter. Itu sebabnya polisi kesulitan melacak rekam jejaknya di Internet, siapa tahu dia menggunakan akun bernama lain.
Sebelumnya, Holmes juga tercatat tak pernah terlibat kriminalitas. Dia hanya pernah kena tilang karena melanggar lampu lalu lintas. Tapi kegiatannya yang lain sama sekali tak terpantau polisi. Misalnya, ternyata dua bulan terakhir dia mengoleksi senjata api, mulai dari shotgun, pistol Smith and Wesson, serta senapan serbu. Dia punya enam ribu peluru, sejumlah gas air mata, plus rompi dan masker.
Persenjataan dan perlengkapan perang itu dia beli secara sah di beberapa toko senjata resmi melalui Internet. Jadi, dia tidak perlu repot bertransaksi langsung dengan penjual. Di Colorado, warga biasa bisa membeli senjata api secara bebas asal sudah punya sertifikat.
Tidak ada yang menduga semua senjata dan perlengkapan perang itu digunakan Holmes untuk menghabisi nyawa orang-orang tak berdosa. Sejak itu, sikap Holmes berubah 180 derajat. Sebelum beraksi dia mencat rambutnya oranye. Kata polisi, dia mengaku ingin seperti Joker, tokoh antagonis dalam film Batman.
Lalu, di penjara, petugas terpaksa memasangkan masker di mulut Holmes. Sebab, kata seorang petugas kepada ABC News, dia berkali-kali meludah ke petugas.
Menurut Reuters, pembunuh itu masih dibiarkan berambut oranye acak-acakan saat tampil kali pertama di depan hakim Pengadilan Arapahoe di Kota Centennial, Colorado. Sidang perdana itu berlangsung Senin, 22 Juli 2012.
Berjalan dengan kedua kaki dan tangan diborgol, dia tampak terhuyung-huyung. Lalu, selama persidangan, dia seperti orang linglung. Pandangan matanya nanar, sesekali ia memejamkan mata seperti orang kurang tidur. Air mukanya datar, seperti tanpa emosi. Pandangannya tetap ke depan. Dia bahkan tak mau menjawab pertanyaan hakim.
Apakah Holmes tak waras? Atau ia sengaja berprilaku seperti orang gila agar hukumannya berkurang.
Di AS, terpidana bisa terhindar dari hukuman mati bila terbukti tidak waras. Pakar psikologi Marissa Randazzo memaparkan tiga kemungkinan. "Pertama, mungkin saja dia di tengah situasi psikotik. Kondisinya kerap tidak stabil, atau mendekati ke arah itu, sambil menerka-nerka di mana dia berada," kata Randazzo, yang pernah bekerja untuk US Secret Service.
"Kemungkinan lain, dia mungkin dalam kondisi mania. Ini berarti aktivitas atau energinya berlebih, selalu terjaga dan tidak tidur selama berhari-hari. Bisa jadi gejala yang terlihat adalah pasca efek," kata Randazzo dalam acara "Good Morning America" di ABC News.
Kemungkinan ketiga: berpura-pura. "Itu bisa saja. Dia kan belajar ilmu saraf,” ujarnya melanjutkan.
Loughner, si pemarah
Sikap anti sosial itu terlihat pada Jared Lee Loughner. Namanya menjadi sorotan publik setelah ia menembak secara brutal di pasar swalayan di pinggir kota Tucson, Arizona, pada 8 Januari 2011.
Sembilan belas orang menjadi korban. Enam tewas, termasuk Hakim Pengadilan Distrik di Arizona John Roll, dan seorang bocah sembilan tahun, Christina-Taylor Green. Tiga belas lainnya luka-luka, termasuk anggota DPR Gabrielle Giffords. Anggota DPR itu selamat, meski dengan luka tembak parah di kepala. Dia harus dirawat selama enam bulan, dan akhirnya mundur sebagai anggota DPR, 25 Januari 2012.
Loughner didakwa atas 49 tuduhan, yang semuanya dia bantah. Peradilan atas Loughner, dimulai 24 Januari 2011, sampai sekarang masih berlangsung. Ini butuh proses panjang karena masih didebatkan apakah Loughner menderita gangguan jiwa, dan perlu perawatan khusus, atau tetap dihadirkan di pengadilan. Sidang lanjutan akan berlangsung pada 7 Agustus 2012 untuk menentukan apakah Loughner secara kejiwaan layak dihadirkan di depan hakim.
Loughner memang tak secemerlang Holmes. Dia lebih banyak gagal dalam sekolah. Pria 23 tahun itu, selepas drop out dari SMA, ikut kelas non gelar di Arizona, yaitu Northwest Aztec Middle College dan Pima Community College. Seperti Holmes, Loughner mulai mengucilkan diri selepas keluar dari SMA. "Teman-teman sekolahnya menggambarkan Loughner seorang penyendiri," demikian kata National Conservative Examiner.
Teman-temannya di Pima College menyebutnya dia pria aneh, dan tidak bisa diajak berteman. "Kita punya orang yang secara mental tidak stabil di kelas, sehingga jadi menakutkan," kata Lynda Sorenson dalam email kepada teman-temannya mengenai Lougner, yang dipublikasikan harian The Washington Post.
Stasiun berita Fox News pun mengungkapkan polisi kampus sudah menangani lima laporan berbeda atas gangguan di ruang kuliah maupun di perpustakaan. Pelakunya adalah Loughner. Dia bahkan sempat memfilmkan kampusnya, dan dimuat ke Youtube, dengan menyatakan lembaga pendidikan itu secara konstitusi tidak sah.
Berbagai masalah menerpa Loughner terkait mentalnya yang labil. Dia dipecat dari restoran cepat saji, dan didepak pula dari tempat kerja di penampungan hewan. "Dia tidak mau mengikuti instruksi kami," kata mantan juragannya seperti dikutip USA Today.
Loughner pernah menjajal masuk Angkatan Darat AS pada 2007. Tapi dia tidak lolos seleksi. Panitia rekrutmen, seperti dikutip Fox News, mengungkapkan Loughner tak pantas jadi tentara. Dia bermasalah dengan penggunaan mariyuana.
Para penyelidik menduga karena ditolak kerja di banyak tempat, dan gemar pakai narkoba, kejiwaan Loughner menjadi tidak stabil. Dia juga menyatakan anti pemerintah.
Meski begitu, orientasi politiknya juga ngawur. Dia misalnya mendukung supremasi kulit putih. Di sisi lain, dia juga mengidolakan Che Guevara. "Manifesto Komunis" disebutnya sebagai buku favoritnya, selain novel George Orwell "1984", serta "Mein Kampf" karangan Adolf Hitler.
Perspektif politik itu bisa menjelaskan mengapa Loughner menghabisi para pejabat pemerintah atau aparat hukum, seperti Hakim Roll dan Anggota DPR Giffords, di satu kesempatan. Mereka tampaknya menjadi sasaran kemarahan Loughner kepada pemerintah AS.
Senator Giffords misalnya. “Dia adalah wakil tangan 'pemerintah' terdekat, dan paling representatif yang bisa digapai Loughner," kata Mark Potok di jurnal Southern Povery Law Center (SPLC), seperti dikutipInternational Business Times.
Hui-cho, “Si Tanda Tanya”
Berbeda dengan Holmes dan Loughner, Seung-Hui Cho mengakhiri hidupnya secara tragis. Dia bunuh diri setelah membantai 32 orang, dan melukai 25 lainnya di kampus Virginia Polytechnic Institute and State University di kota Blacksburg, negara bagian Virginia pada 16 April 2007.
Media massa setempat menyebut penembakan brutal itu "Pembantaian Virginia Tech." Tragedi ini sangat ironis, mengingat Cho tercatat mahasiswa S1 program teknologi informasi bisnis di kampus itu.
Sama seperti dua penembak brutal di atas, mahasiswa keturunan Korea ini terasing dari kehidupan sosial. Teman-teman sekelasnya melihat lelaki berusia 23 tahun ini sebagai orang tak banyak bicara, pendiam, ditanya pun tidak mau menjawab.
Dalam suatu kelas, tiap mahasiswa diberi kesempatan memperkenalkan diri. Namun, saat tiba giliran Cho, dia hanya diam. Di kertas absen pun, dia tak menulis namanya, namun cuma memberi tanda tanya. "Makanya kami cuma tahu dia sebagai ‘anak tanda tanya’," kenang seorang mahasiswi, Julie Poole seperti dikutip BBC.
Teman seasramanya pun tidak habis pikir Cho begitu irit bicara. "Saya kira dia sangat kesepian, namun tidak sampai begitu marah," kata Karan Grewal kepada BBC.
Belakangan polisi setempat mengetahui Cho pernah ikut terapi gangguan jiwa di akhir 2005. Ini terjadi setelah dua mahasiswi mengeluh bahwa Cho bersikap aneh. Selain itu ada laporan menunjukkan perilakunya membahayakan, seperti berupaya membakar asrama.
Setelah insiden penembakan, polisi menemukan sejumlah rekaman video dan foto milik Cho. Di tayangan itu dia tampak memegang senjata, wajahnya marah. Dia memaki-maki "anak-anak nakal," "sombong," dan "anak-anak kaya" yang telah "memperkosa jiwanya." Kemarahan itu diduga menajdi motif Cho menembaki orang-orang tak bersalah di kampus.
Cho tak sempat ditangkap. Saat polisi mengepungnya, dia memutuskan bunuh diri.